Pesquisar neste blogue

SOBRE MIM / ABOUT MY SELF / TENTANG DIRI SAYA / KONA-BA HA'U AN.

A minha foto
Díli, Díli, Timor-Leste
Olá..., Sou Paulo S. Martins, de Ainaro, sou eis seminarista do Seminário Maior de São Pedro e São Paulo Fatumeta, Díli, Timor-Leste (Eis Frater), licenciado em Direito pela Escola de Direito da Universidade do Minho, Braga-Portugal e sou mestre em Direito Tributária pela mesma escola. Atualmente sou jurista e assessor legal num instituto público em Díli. Ora, esta página criei em 2010 com intuito partilhar pouco conhecimento que eu tenho ao público em geral e aos que têm sempre sede de ciências e informações. Os conhecimentos e as informações que opto por publicar aqui sempre estão relacionados com direito, cultura, família e poemas. Aqui vai a minha página. Portanto, agradeço imenso pelos comentários e sugestões dados para melhorar esta página. Um grande abraço. Paulo Martins

sexta-feira, 3 de dezembro de 2010

DHUAFA’, MARHAEN, MAUBERE

DHUAFA’, MARHAEN, MAUBERE

Oleh: Jose Maria Guterres*



DHUAFA’





Istilah Dhuafa’ atau kaum dhuafa’ berasal dari bahasa Arab yang artinya lemah, tak berdaya atau dengan kata lain orang-orang tak berpunya. Kaum dhuafa terdiri dari anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang terlantar dan orang cacat. Kaum dhuafa adalah orang-orang miskin yang ada di jalanan, di pinggiran kota dan disudut-sudut lingkungan kumuh.



Para dhuafa ini bekerja sebagai buruh bangunan, pengemis jalanan, abang becak, pemulung dan pedagang asongan. Penderitaan yang dialami kaum duafa menyebabkan mereka menjadi sangat rentan dengan berbagai macam penyakit menular dan ancaman bunuh diri. Contoh, mereka yang menderita penyakit menular seperti kusta, malaria, demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya adalah mereka yang miskin dan berasal dari lingkungan kumuh. Demikian halnya dengan orang-orang yang terinfeksi penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS adalah kebanyakan dari kalangan miskin yang tidak memahami pentingnya menjaga kesehatan tubuh.



Marhaen



Sedangkan Marhaen adalah istilah politik yang pertama kali dicetuskan oleh Ir. Soekarno (Presiden Pertama RI), ketika beliau bertemu dengan seorang petani kecil di desa Cigalereng, Bandung Selatan bernama Marhaen, pada tahun 1917. Bagi Bung Karno, Pak Marhaen adalah simbolisasi dari lapisan masyarakat dari kelas yang paling rendah, yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia pada saat itu. Pak Marhaen adalah seorang petani kecil yang memiliki alat produksi, bekerja dengan seluruh waktunya, akan tetapi tetap menderita karena hidup dalam sistem yang menindasnya.



Bagi Soekarno idiologi Marhaenisme adalah idiologi perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sitem kolonialisme, imperalisme, feodalisme dan kapitalisme. Pengertian Marhaen yang merupakan asal usul dicetuskannya idiologi Marhaenisme, menurut Soekarno adalah golongan masyarakat miskin, yang terdiri dari tiga pilar yaitu:



Pertama, kaum proletar Indonesia atau kaum buruh.



Kedua, kaum tani melarat Indonesia.



Dan ketiga, kaum masyarakat melarat Indonesia lainnya.



Soekarno juga menjelaskan golongan mana yang disebut dengan kaum Marhaenis, yang tidak lain adalah kaum yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen dan bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen, yang hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperalisme serta kolonialisme, dan kaum yang bersama-sama dengan Marhaen membanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat yang kuat, bahagia-sentosa serta adil dan makmur. Pernyataan ini semakin ditegaskan oleh Soekarno dalam pernyataannya: “Pokoknya, Marhaenis adalah setiap orang yang menjalangkan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan. Camkan benar-benar !!!



setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama dengan kaum Marhaen”. Pandangan Soekarno yang memperlihatkan kebenciannya terhadap sistem kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme yang dianggapnya sebagai sumber malapetaka penyebab kemiskinan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari petikan pidatonya yang mensyaratkan perlunya kerjasama dengan kaum tertindas dalam merubah sistem yang exploitatif.



Maubere



Sementara itu, berdasarkan perbincangan penulis dengan Avo Fransisco Xavier do Amaral baru-baru ini, di suatu sore di pantai Pasir Putih (Area Branca), bahwa nama Maubere berasal dari bahasa Mambae. Avo Xavier menceritakan, di zaman Portugues, ada seseorang dari Turiscai yang bernama Maubere. Si Maubere ini orangnya pendek, kulitnya hitam, (bahkan lebih pendek dari Avo Xavier), berperut buncit serta tidak mempunyai pekerjaan (jobless). Rutinitas yang dilakukan oleh Pak Maubere setiap harinya adalah keliling kota Dili hanya berjalan kaki, dengan tujuan untuk mengais rezeki dengan cara meminta-minta makanan (Paun no Kezu) kepada orang-orang (terutama Malae Mutin) agar dapat menyambung hidupnya.



Tempat yang lebih sering di kunjungi Pak Maubere adalah Bairo Dos Grilos, karena komplek ini banyak dihuni oleh Malae Mutin. Avo Xavier menambahkan, uniknya, rezeki yang dikumpulkan oleh Maubere itu tidak dinikmati sendiri olehnya, melainkan bersama dengan teman-temannya dari Lekidoe, Turiscai dan Remixio. Di mata Malae Mutin, Pak Maubere menjadi terkenal karena mereka selalu bertemu setiap harinya. Sekaligus bagi mereka (Malae Mutin) Pak maubere menjadi representasi dari orang-orang tidak berpunya (kbi’t laek).



Sehingga, pada tahun 1974-1975, Ramos Horta, Sahe, Fransisco Borza dan kawan-kawan meneksploitasi nama Maubere menjadi istilah politik sekaligus sebagai simbol perlawanan. Kaum Maubere bila ditinjau dari aspek sosiologis adalah kelompok masyarakat dari kelas yang paling rendah, dengan karakteristik tidak tahu membaca dan menulis.



Situasi kaum ini tak ubahnya seperti budak. "Maubere oan sira nia folin iha sosiadade ne, folin laek. Karakteristikas seluk nebe refere ba Maubere mak sira nebe “kabala lipa, ain tanan no foer. Iha foho karik dehan sira hakfolik. Tipikamente Maubere hanesan ema primitivu iha Timor-Leste".



Maubere-isme adalah suatu idiologi yang dikembangkan oleh Ramos Horta, Fransisco Borza dan Sahe untuk membela rakyat Timorense dari penindasan dan pemerasan oleh kaum kapitalisme, imperalisme/kolonialisme serta feodalisme, dengan tujuan untuk membangun masyarakat Timorense yang adil dan makmur serta beradab dan bebas dari segala macam penindasan dan pemerasan yang dilakukan baik, oleh bangsa atas bangsa, maupun manusia atas manusia. Pada kenyataannya keinginan tersebut tidak dapat diraih pada saat itu, dan keprihatinan atas permasalahan bangsa Timor inilah yang merupakan titik tolak dari pengkajian Ramos Horta dan kawan-kawan dalam melahirkan idiologi Maubereisme. Golongan masyarakat yang miskin dan melarat inilah yang disebut Ramos Horta Maubere.



Kata Maubere dan Buibere adalah sebuah kekuatan yang dapat mengikat dan menyatukan seluruh komponen masyarakat Timorense, husi Lorosae to’o Loromonu, Tasi feto to’o tasi mane no husi Jako to’o Oecusse, baik itu tua-muda, perempuan-laki-laki dan anak-anak, untuk menuju ke sebuah cita-cita yang paling luhur dan mulia, yang tidak dapat ditawar dan dihargai dengan apapun yaitu mate ka moris ukun rasik-an. Dengan keampuhan kata Maubere yang merupakan simbolisasi masyarakat Timorense sebagai kaum berleki atau tidak berpunya pada saat itu, membuat Ramos Horta dan kawan-kawan dengan begitu mudah untuk menarik simpati mayoritas Mauberis dan Buiberis untuk menyatukan barisan, dan dalam waktu yang singkat mereka dapat membebaskan Timor sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat secara unilateral, yang diberi nama Republica Democratica Timor-Leste (RDTL) pada tanggal 28 November 1975.



Tercapainya cita-cita ukun rasik-an yang dipelopori oleh para founding fathers itu merupakan klimaks dari semua upaya yang telah diperjuangkan oleh Dom Boaventura dan para leluhur lainnya selama ratusan tahun sebelumnya. Andaikata pada saat itu, Ramos Horta dan kawan-kawan tidak mendengar atau bertemu dengan Pak Maubere di kota Dili, akan tetapi berjalan-jalan di desa-desa sekitar Afaloicai (Sub-Distrik Baguia) dan ia berjumpa dengan saudara-saudara penulis seperti Pak Kaiboru, Mauboru dan Watumau, maka tentu ia akan menamakan: Kaiboru-isme, Mauboru-isme atau Watumau-isme



Post-independence, konteks Maubere identik dengan kemiskinan dan kelaparan. Gejala ini lebih tepat ditujukan kepada saudara-saudara kita yang tidak memiliki pekerjaan tetap alias menganggur, orang-orang miskin, anak-anak yatim, kaum yang menderita penyakit tertentu serta para janda pahlawan kemerdekaan. Berdasarkan laporan dari Bank Dunia, tahun 2002-2007, penduduk miskin Timor-Leste diatas 50 persen, namun dari tahun 2008-sekarang penduduk miskin TL berkurang menjadi 49 persen dari total population (source STL). Dari angka ini bisa disimpulkan bahwa hampir separuh dari total penduduk TL dikategorikan miskin.



Dalam perjalanan pembangunan bangsa, tujuan paling hakiki adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengangguran dan kemiskinan merupakan musuh bersama dan bahkan merupakan komitmen global (Kaman Nainggolan, 2008). Adalah tangunggjawab negara-pemerintah dan seluruh stakeholders untuk memberantas kemiskinan.



Kay Rala Xanana Gusmao, Taur Matan Ruak, Lere Anan Timur, Falur Rate Laek, Maunana, Sabika, Aluk hamutuk ho maluk lubuk ida nebe agora sei iha Metinaru, balun agora iha liur, no barak agora la hamutuk ho ita, no hamutuk ho povu Aileba tomak konsege liberta duni patria husi kolonialismo, maibe seidauk liberta povu Maubere husi kiak no mukit. Buat ida ke laos facil maibe mos laos deficil. ITA HEIN !!!



*Penulis Alumni Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
 
Publika iha Forum Haksesuk, edisaun, Sexta-Feira, 04 de Dezembro de 2010

Sem comentários:

Enviar um comentário

Muito obrigado

GENTE DE TIMOR (Obra Original do Paulo S. Martins)

Da ilha verde, da forma de crocodilo.
Da verdura montanhosa e da alma lutadora.
De um sangue humilhado mas não ser humilhada.


Da brisa da frescura e do aroma da verdura,
Do rio pedroso e das rasas espinhosas,
das cores arco-íris e das flores da natureza.


Ó gente de Timor...!
Das praias bonitas e das ondas manhosas,
das águas quentinhas e das bocas sorridentes.


Do coração da pomba e pele da cobra,
dos olhos da águia e pés dos crocodilos.
das mãos do campo dos pés do viagante.


Ó gente,
minha gente
gente de Timor...!
mostrai a boca e lavai os olhos,
treinai as asas e voai mais alto,
treinai os pés e chegai mais longe.


Uma Lisan Diurpu,

Uma Lisan Diurpu,
Uma lisan Diurpu, hanesan uma lisan eh Uma Knua eh Uma Lulik ka ho lian português "Casa Sagrada" timor nian ne'ebé mos sai hanesan Uma Lulik ne'ebé importante iha Knua Ria-ailau, Ainaro-Manutaci. Uma Lulik ne'e besik ba Ramelau hun. Uma ne'e agora nia gerasaun ladun barak, maibé komesa buras fali ona ba oin ho prezensa foin sa'e sira ne'ebé foin moris iha tinan 1990 mai leten. Agora dadaun Sr.António mak hola fatin eh substitui fali Sr. Augusto ne'ebé uluk nudar bali nain ba Uma Lulik ne'e nia fatin para bali uma ne'e. Uma Diurpu lokaliza iha Distritu Ainaro, Subdistritu Ainaro, Suco Manutaci no Aldeia IV. Nia fatin uluk besik malu ho uma Lisan Mantilu ne'ebé uluk iha Mupelotui no Maupelohata. Maibe agora sai ona mai iha buat mos ka fatin foun principalmente iha tempo katuas Augosto nian. Ita hare iha imagem ne'e, iha uma ne'e nia kotuk ida kalohan taka ne'e mak foho Ramelau ka Tatamailau. Hori uluk iha okupasaun Portuguesa no Ocupasaun Indonésia nian iha Timor, Uma Diurpu seidauk hetan Sunu ka amesa hosi Ahi. Tanba tuir história beiala sira nian, uma ida ne'e ahi nunka bela han, ka ahi la han. Tuir lian nain no katuas sira nebe hare ho matan, katak iha tempo kolonial português nian iha Timor, uma Mantilu nebe momentu neba hari besik kedan uma Diurpu (Uma tatis sei ba malu) ne'e ahi han tia iha kalan ida, nebe tuir lolos uma Diurpu ne'e mos ahi tenki han hotu, nia logika nune, tanba uma rua ne'e rabat malu kedan. Maibe katuas sira haktuir dehan, sa mak akontese iha momentu neba mak, manu makikit mean (manu lokmea ) ba tur iha uma Diurpu nia kakuluk ne'e i kuando ahi lakan ne'e baku ba uma Diurpu nia leten, manu makikit ne'e loke liras dala ida, ahi lakan baku fali ba parte seluk. Ho nune'e ahi han uma Mantilu ne'e to romata, maibe uma Diurpu ne'e ahi la han. I manu makikit ne'e tur iha uma ne'e nia kakuluk to ahi lakan hotu ka mate. Iha kolonial indonésia nian, ahi nunka han uma ne'e. Milisia sira tama to'o iha bairro neba i sunu uma Builiuh nebe iha kraik mai maibe la sunu uma Diurpu, milisia sira liu kona dalan ninin deit i neon la kona ka la hanoin at ba Uma ne'e. Além de ne'e, katuas assasinio ka oho dor no katuas seluk nebe ema iha suku laran konsidera katak lia-nain iha suko ne'e fo sasin katak uma Diurpu ne'e iha nia karakter da unika i ema ne'ebé hanoin a'at nunka bele hakat to'o uma ne'e nia sorin, tanba sei la hetan dalan atu tama ba uma ne'e. Iha tempo indonésia nian, iha momento nebé ami hotu sei kik, kuando kalan ka loron mak bapa sira atu tama ba ou falintil sira lao besik iha uma ne'e, ita iha uma laran hatene kedan ona tanba iha manu (ho froma manu fuik hanesan andorinha bot) ida nebe'e hanesan manu makikit kik ne'e semo haleu uma laran ne'e i fó alerta ba ita. Iha ne'e ita nebe toba iha uma laran sei la dukur tanba manu ne'e nia liras sempre baku ita no baku buat kroat nebe ita iha. Uma ne'e uluk iha Maupelohata hansa dehan tia ona. Sai fali mai iha nia fatin foun, hari'i desde 1976 no'o troka lolos iha 1998. Hafoin ta'a fali ai foun no prepara material foun pois hari'i fali iha 1998 to agora 2014. Nia kondisaun diak nafatin hansa ita hare iha retrato ne'e, nia varanda luan liu uluk nian. No Nia sempre nakloke ba ema hotu nebe hakarak ba visita Nia. By Paulo S. Martins (qno.tls@gmail.com)